Pendidikan sebagai unsur penting dalam kehidupan manusia yang membantu menyadari potensi yang dimiliki sebagai makhluk berpikir. George F. Kneller sebagaimana disadur Umiarso dan Zamroni (2011), mengatakan pendidikan dalam arti sempit merupakan proses transformasi pengetahuan, nilai-nilai dan keterampilan dari generasi ke generasi, yang dilakukan oleh masyarakat melalui lembaga-lembaga pendidikan seperti sekolah, pendidikan tinggi atau lembaga-lembaga lainnya. Dalam makna praktis, pendidikan sebagai sarana untuk mendapatkan pengetahuan, pelatih skill dan pengasah otak, serta bekal untuk bertahan hidup yang tidak dibatasi oleh ruang dan waktu, artinya dapat dilakukan di mana dan kapan saja untuk tercapainya sebuah tujuan. Kontekstualisasi dengan tujuan ini, Suharyanto (2015) berpandangan bahwa tujuan pendidikan adalah membentuk manusia agar mampu bersosialisasi dan berbudaya serta menyesuaikan dirinya dengan lingkungan supaya berlangsungnya kehidupan baik secara pribadi maupun bersosial.
Berdasarkan pandangan di atas, sehingga pendidikan dipandang sebagai investasi jangka panjang. Pendidikan memiliki fungsi memberikan penyadaran kepada manusia agar mampu mengenal, memahami, dan mengerti realitas kehidupan yang sesungguhnya. Pasalnya, manusia sebagai subjek perubahan dituntut kritis melihat realitas yang ada agar tetap relevan dengan nilai-nilai kemanusiaan. Hal inilah yang kemudian menjadikan pendidikan mengemban nilai humanisasi untuk dapat memanusiakan kembali manusia yang digunakan sebagai sarana mencapai pembebasan dan strategi untuk mencapai keadilan sosial. Pembebasan ini bermuara pada peningkatan daya kreatifitas berpikir yang lebih produktif. Itulah sebabnya, Paulo Freire menawarkan suatu konsep pendidikan yang berorientasi pada proses pembebasan manusia. Baginya, manusia sejati adalah manusia yang kritis dan sadar terhadap realitas yang ada di sekelilingnya serta bertindak mengatasi realitas tersebut jika menjumpai sebuah ketimpangan atau kesenjangan yang seharusnya tidak demikian. Untuk membangun kesadaran kritis ini maka dibutuhkan suatu perangkat untuk mendiagnosa realitas tersebut. Maka, hanya pendidikanlah yang tepat menjadi perangkat untuk menghadapi realitas dalam membangun kesadaran kritis.
Dalam realitas pembelajaran di sekolah, Freire menawarkan bahwa tujuan utama dari pendidikan adalah membuka mata peserta didik guna menyadari realitas ketertindasan untuk kemudian bertindak melakukan transformasi sosial. Kesadaran kritis menurut Paulo Freire dalam konsep pendidikan melihat bagaimana pendidik mengembangkan pendidikan secara dialogis, yaitu diberikannya keleluasaan dan keterbukaan pada peserta didik untuk mempraktikan aktualisasikan dirinya dengan dibukanya ruang-ruang dialog partisipatif.
Bercermin pada konsep Paulo Freire tersebut, sangat relevan dan menarik jika dikaitkan dengan konteks pendidikan dalam pembelajaran pada jenjang sekolah menengah atas saat ini. Hal ini mengacu pada fenomena kehidupan berbangsa yang masih menghadapi pelbagai permasalahan yang kompleks, seperti konflik yang sering kali diikuti dengan kekerasan, bullying, bahaya perpecahan atau disintegrasi, ketidakadilan sosial, pelecehan terhadap hukum, diskriminasi terhadap kaum marginal, kekerasan kepada perempuan dan anak-anak, reformasi dan demokratisasi yang disinyalir “jalan di tempat”, serta kemiskinan yang kian membuat terpuruknya kehidupan bangsa kita. Oleh karena itu, maka pembelajaran pada jenjang sekolah atas sudah seharusnya menghadapkan peserta didik pada realitas permasalahan tersebut.
Menghadapi berbagai permasalahan di atas, dinamika pendidikan kita pada jenjang sekolah menengah atas,
dihadapkan pada pertanyaan yang penting, yaitu bagaimana cara menghasilkan output pendidiian di jenjang sekolah menengah atas yang mampu memperbarui penghayatan serta panggilan sebagai generasi masa depan yang unggul sekaligus memberikan solusi bagi kehidupan bersama dalam kehidupan bermasyarakat. Hal lni penting direnungkan sebagai warga bangsa untuk membidani, melahirkan, dan mengukir sejarah masa depan dan proaktif memelihara perjalanan bangsa Indonesia.
Pendidikan jenjang menengah atas harus mempersiapkan peserta didik untuk menjalani kehidupan sebagai aktor perubahan maupun penukil sejarah perjalanan bangsa masa depan dengan mengimplikasikan suatu tantangan yang khas dan unik yang harus digumuli bersama. Melalui pendidikan pada jenjang sekolah atas, diharapkan kebutuhan mental dan spiritual peserta didik tidak sekadar terpenuhi tetapi juga memperoleh pencerahan hidup bahkan mengutamakan pembangunan karakter pada peserta didik sehingga mereka bisa memberikan kontribusi positif dan maksimal bagi masyarakat luas. Oleh karena itu, kurikulum mata pelajaran jenjang sekolah menengah atas sedapat mungkin mampu menolong peserta didik untuk siap dan mampu menemukan solusi atas berbagai persoalan yang mereka hadapi. Bersempena, output lulusan sekolah menengah atas akan dapat memberikan sumbangan berarti bagi pembangunan bangsa pada waktu mendatang. Selamat Hardiknas 2025. (bersambung)
> Penulis adalah ASN limgkup Pemkab Lombok Utara dan Pengurus DPP Iprahumas Indonesia