1. Peran Peserta Didik
Seperti telah diulas di muka, bahwa konsep pendidikan Freire konsen menempatkan peserta didik sebagai subjek yang hidup berdampingan dengan alam dan menghadapi dunia sebagai realitas objektif. Maka dalam konteks pembelajaran pada sekolah menengah atas, menghendaki peserta didik yang dapat memahami misi kemanusian pendidikan dengan mengasihi sesama, mampu menghayati ilmu pengetahuan yang diajarkan oleh guru, serta menjunjung tinggi akhlak mulia dalam kehidupan masyarakat majemuk.
Proses pembelajaran di sekolah harus memberikan motivasi kepada peserta didik untuk mengembangkan diri sebagai pribadi yang tangguh, peserta didik mampu memahami siapa dirinya, peseta didik mengenali potensi dirinya, serta mampu mengembangkan citra dirinya secara positif. Kemudian peduli dan peka merespon kebutuhan sesama dan lingkungan di sekelilingnya, peserta didik tidak bersikap fanatik sempit, melainkan dengan kebenaran membangun solidaritas dan toleransi dalam pergaulan sehari-hari tanpa kehilangan identitas diri. Memiliki kesadaran dan proaktif dalam berpartisipasi mewujudkan demokrasi dan HAM. Lalu peserta didik berkesadaran ikut terlibat memelihara dan menjaga kelestarian alam, memiliki kesadaran akan keadilan dan kesetaraan seraya menerapkan dengan sikap jujur dan hormat dalam kehidupan seharo-hari. Peserta didik juga mampu mengembangkan kreativitas dalam berpikir, menilai, bersikap dan bertindak, serta mereka tidak kehilangan ciri khas sebagai anak-anak Indonesia.
Untuk memberikan kemampuan tersebut, pendekatan yang mesti ditempuh pada proses pembelajaran di sekolah menengah atas yaitu pendekatan yang berpusat pada peserta didik. Pendekatan ini kemudian menuntut guru bekerja keras, mampu menemukan dan memaksimalisasi seluruh potensi peserta didik dengan kreatif. Artinya kreatifitas guru dalam pembelajaran akan memungkinkan peserta didik aktif, berani mengemukakan pendapat dan berargumen serta mampu memberikan solusi sesuai dengan potensi yang dimiliki peserta didik.
Dengan demikian, pendekatan pembelajaran yang berpusat pada peserta didik akan dapat memanusiakan manusia, demokratis, menghargai peserta didik sebagai subyek dalam proses pembelajaran, serta menghargai keanekaragaman peserta didik. Ini berarti kebutuhan peserta didik betul-betul menjadi kebutuhan utama yang harus terakomodir di dalam proses pembelajaran. Proses pembelajaran benar-benar sebagai proses transformasi ilmu pengetahuan dengan mengupayakan peserta didik mengalami pembelajaran melalui aktivitas-aktivitas kreatif yang difasilitasi oleh guru.
2. Kesadaran Individu dan Masyarakat
Menurut Freire, bahwa keprihatinan terhadap masalah humanisasi cepat atau lambat akan membawa kepada pengakuan akan timbulnya masalah dehumanisasi yang semakin melekat erat dan kian akut dalam kehidupan sehari-hari manusia. Itulah argumentasi Freire menyerukan sikap optimis untuk merubah masalah dehumanisasi. Maka, dalam konteks inilah urgensi pendidikan sebagai jembatan yang membuka gerbang kesadaran kritis memainkan perannya untuk menganalisis segala sesuatu terkait permasalahan dalam kehidupan di sekitar manusia dari realitas kemiskinan, pengangguran, keterbelakangan, kesenjangan sosial hingga ketimpangan penguasaan sumber-sumber kekayaan.
Dalam konteks pendidikan di sekolah menengah atas, maka proses pembelajarannya menghendaki peserta didik mampu menghayati pentingnya akhlak mulia dalam masyarakat yang majemuk. Maka, model pembelajaran yang mesti digunakan dalam aktivitas pembelajaran yaitu model pedagogi reflektif, terdiri dari tiga unsur utama sebagai satu kesatuan dalam pembelajaran: pengalaman, refleksi dan aksi (Kemendibud, 2014).
Pertama, menggali pengalaman faktual maupun aktual yang diangkat dari pengalaman pribadi, kisah, dan cerita nyata. Kedua, refleksi dan perenungan. Peserta didik harus dipandu untuk mencari dan menemukan makna terdalam dari proses pembelajaran. Kemudian bagaimana membentuk kesadaran baru sebagai hasil dari perenungan dan refleksi. Ketiga, hasil penggalian pengalaman dan refleksi tersebut, peserta didik dapat bertindak sesuai dengan keyakinan agama masing-masing. Oleh karenanya, maka pelbagai pola yang variatif, dinamis, kreatif, partisipatif dan menyenangkan yang bersifat eksploratif perlu dikembangkan dalam pembelajaran.
Kemudian, guna memberikan kemampuan analitis, berpikir logis dan kritis, dalam pembelajaran perlu menggunakan model pembelajaran yang tepat, salah satunya model inkuiri. Menurut Suhada (2017), model inkuiri lebih menekankan keaktifan peserta didik memiliki pengalaman belajar dalam menemukan konsep-konsep materi berdasarkan masalah yang diajukan.
Penekanan terhadap peserta didik yang mencari, menggali dan menjelajahi sendiri, akhirnya mereka dapat menemukan sendiri jawaban permasalahan yang ada. Dalam kaitan ini, Hutabarat (2020) mengemukakan, peserta didik perlu dilatih untuk menggunakan dan mengembangkan kemampuan berpikirnya, sedangkan guru lebih berperan sebagai fasilitator yang kreatif. Guru juga harus selalu mengarahkan peserta didik dalam kegiatan pembelajaran. Oleh karenanya, model pembelajaran inkuiri dapat diterapkan terutama sekali ketika membahas pelbagai persoalan yang dihadapi pada masa kini baik menyangkut keadilan, kesetaraan, demokrasi dan HAM. Dengan demikian, peserta didik akan memiliki kesadaran terhadap realitas sosial di sekelilingnya serta ikut terlibat secara aktif dalam mitigasinya.
3. Pendidikan Berbasis Realitas Sosial
Dalam konsep pendidikan yang ditawarkannya, Freire menempatkan realitas sosial sebagai instrumen penting dalam proses pendidikan guna mematangkan nalar kritis manusia menghadapi dunia maupun kompleksitas problem di dalamnya. Ia memandang realitas sebagai sesuatu di luar diri manusia sekaligus sebuah tantangan bagi manusia untuk mengaktualisasikan diri, mengembangkan bakat minat yang dimiliki guna menciptakan hal baru yang berguna bagi dirinya sekaligus bagi manusia lainnya.
Penerapan proses dan strategi pembelajaran pendidikan humanis di sekolah menengah atas haruslah menempatkan realitas sosial sebagai media pembelajaran peserta didik dalam mengembangkan kreatifitas, nalar logis dan kritisnya. Model pembelajaran di sekolah tidak hanya terhenti pada penggunaan model inkuiri saja, tapi perlu juga menggunakan model pengembangan lingkungan dan model aksi-refleksi dan aksi baru.
Dalam model pengembangan lingkungan, pendidik seyogianya mengajarkan bagaimana peserta didik dapat mendisain lingkungan supaya tujuan yang baik dapat diimplementasikan dan dicapai. Semisal peserta didik mampu menerapkan kasih sayang antar mereka, belajar dengan baik, lingkungan pembelajaran yang kondusif, sehat, dan bersih. Model inpun dapat dilakukan secara mandiri, bahkan tidak jarang pula seringkali harus melibatkan dan menyadarkan orang lain di sekitarnya dalam penerapannya.
Dalam pada itu, pada model aksi-refleksi dan aksi baru sebagai ikhtiar menerapkan iman seseorang dalam situasi nyata. Iman ini akan dapat dihayati jika seseorang betul-betul telah melakukan apa yang diimaninya. Untuk itu, pada model ini maka lebih dulu perlu ditentukan problemnya, misalnya masalah personal, masalah kolektif, atau juga masalah lingkungan hidup. Kemudian secara berturut-turut harus konsisten diikuti tahapan meliputi mengungkapkan data atau fakta yang diketahui, analisis data, (bisa dengan sudut pandang pribadi, sosial, budaya, agama, ekonomi, ideologi, dan lain sebagainya. Selanjutnya mencari dan menemukan pengalaman yang pernah dialami terkait dengan masalah yang dibahas. Dilanjutkan merumuskan masalah, rencana aksi baru,(rencana kegiatan nyata untuk memecahkan masalah berdasarkan rumusan masalah). Tetakhir, pelaksanaan aksi baru. Jadi, model aksi-refleksi-aksi baru sesungguhnya sebagai suatu pola laiknya suatu spiral, yang dapat diulangi dalam tenggang waktu tertentu.
4. Pendidikan Dialogis Merajut Masyarakat Toleran dan Demokratis
Dalam pandangan Freire, dialog sebagai sebuah kebutuhan mendasar bagi manusia untuk mempertegas eksistensi. Dialog, merupakan unsur penting dalam pendidikan dengan visi pembebasan yang tidak akan mungkin tercipta tanpa rasa cinta yang mendalam atas dunia sekaligus terhadap sesama. Freire memahami bahwa rasa cinta adalah dasar bagi dialog dan pendidikan dialogis untuk langkah awal memperlancar proses demokratisasi kebudayaan.
Proses pembelajaran di sekolah menengah atas secara konseptual mesti didorong sebagai suatu upaya dalam rangka menciptakan warga negara yang demokratis. Artinya dalam proses pembelajaran perlu menghadirkan mind set peserta didik — tidak bersikap fanatik sempit, sebaliknya membangun solidaritas dan toleransi dalam pergaulan sehari-hari tanpa harus kehilangan identitas diri.
Untuk menerapkan serta menanamkan nilai-nilai terkait dengan sikap toleran dan demokratis, pembahasan isi kurikulum pembelajaran harus dimulai dari lingkup yang paling kecil, yaitu diri peserta didik sendiri. Kemudian dikuti pembahasan mengenai keluarga, teman, lingkungan di sekitar peserta didik, masyarakat di lingkungan sekitarnya, negara, dan dunia secara keseluruhan dengan berbagai dinamika problematika di dalamnya.
Bersempena, pendidikan seyogianya sebagai kendaraan guna membantu manusia mencapai kesadaran kritis dan tujuan akhir pendidikan humanis yaitu membebaskan manusia dari belenggu tindakan destruktif sehingga memiliki kembali nilai humanisasi. Selain itu, konsep pendidikan humanis ala Paulo Freire penting diterapkan dalam proses pembelajaran di sekolah menengah atas guna menggugah peran peserta didik, kesadaran individu dan masyarakat, pendidikan berbasis realitas sosial, serta pendidikan dialogis menuju masyarakat yang toleran dan demokratis. (Habis)
*Penulis adalah ASN Lingkup Pemkab Lombok Utara dan Pengurus DPP Iprahumas Indonesia